Rabu, 18 November 2015

Chen dan Pahitnya Kehidupan

Chen dan Pahitnya Kehidupan

Di Negara Tirai Bambu, di antara emas yang berkilau masih terselip intan yang belum terasah. Tepat ditempat yang penuh keheningan alam. Intan terbawa ke tempat untuk memecahkan masalahnya. Untuk mencari kilauannya yang hilang. Intan itu adalah Chen yng tiada henti mencari cerahnya masa depan yang lebih baik. Niat dari nurani bagai baja yang kuat walau di terpa apapun.

Jaman dahulu, hiduplah keluarga yang serba kekurangan. Bersahabat dengan kemiskinan yang selalu menemani sepanjang hidup. Keluarga yang dulunya utuh kini mulai rapuh semenjak ditinggal ibunya dan ayahnya yang sakit-sakitan. “Yah, dimana ibu saat ini ? kenapa sampai saat ini aku masih belum melihat wajah ibu ?” ujar Chen dangan mata berkaca-kaca. Dengan suara lembut ayahnya menyampaikan “Bersabarlah, Nak. Ibumu pasti akan kembali menemuimu” sambil mengusap air mata Chen yang menetes. Tanpa membuang waktu Chen berpamitan dan bergegas bekerja untuk mendapat uang.
Chen, anak yang tak kenal kata menyerah dan terus berusaha mencari jalan keluar dari berbagai masalah yang bertubi-tubi menerpanya. Dengan tubuh kecilnya dan bajuya yang tak layak ia pakai terus berjuang mencari ilmu yang bermanfaat untuk masa depan keluarganya. Tidak sampai disitu, Siang malam dia bekerja demi sepiring nasi yang bisa dimakan dangan ayah setiap harinya.

Suatu ketika Ayah Chen sedang kambuh penyakitnya hingga harus dibawa ke puskesmas terdekat dengan cekatan Chen menuntun ayahnya ke puskesmas yang jaraknya 10km dari rumahnya. “Sebentar lagi sampai, Ayah” ujar Chen. Sesampainya di puskesmas Ayah Chen diperiksa dan tak diketahui apa jenis penyakit yang diderita oleh ayahnya. “Tidak usah khawatir, Ayah. Aku akan menemukan obat untukmu” ujar Chen dengan penuh semangat.
Sambil memegang pundak Chen, “Terima kasih, nak. Kau memang anak yang baik. Bersekolah dengan baik dan jangan bekerja layaknya orang dewasa, Nak.”
“Aku akan bersekolah sebaik mungkin tapi aku akan terus bekerja, Ayah. Melihat kondisi ayah yang terus sakit-sakitan hatiku tergerak untuk terus bekerja menghidupi keluarga ini. Lebih baik beristirahatlah ayah biar aku yang mencari uang dan makan.” Ucap Chen sambil terharu.

Waktu terus berlalu, Pagi – pagi sekali Chen berangkat ke sekolah yang jaraknya 20Km dari tempat tinggalnya. Sudah lama Chen bersekolah, namun sekolah tersebut sudah tak layak untuk ditempati lagi, temboknya yang retak dan lantainya yang masih dari tanah. Tapi ilmu masih bisa dipetik dari sekolah yang tak layak itu. Ketika temannya sedang asyik bermain, Chen asyik membaca sebuah buku di perpustakaan. Bukan buku komik atau cerpen yang dia baca tetapi buku tentang kesehatan. Dia sedang berusaha menemukan penyakit dan mencari obat  yang dia janjikan kepada ayahnya. Lalu ada guru yang menghampirinya, “Sedang apa kamu disini, Nak.?”
“Membaca sebuah buku, Bu” Ujar Chen yang fokus membaca.
Sambil menggaruk kepala, “Buku apa yang kau baca.? Kenapa kamu tidak keluar dan bermain dengan anak – anak yang lain.?”
“Ini buku tentang pengobatan dan penyakit, Bu. Saya tidak bermain dan memilih membaca buku di perpustakaan ini karena saya ingin menyembuhkan penyakit Ayah saya yang telah diderita selama beberapa tahun.” Ia bicara dengan optimisnya.


Guru itupun pergi dan membicarakan hal tersebut ke beberapa guru, staff dan kepala sekolah. Tetapi Chen tidak peduli dengan omongan guru tersebut, dia tetap membaca untuk kesembuhan seorang ayahnya yang membesarkannya sampai saat ini. Tanpa disadari Chen, pembicaraan dengan gurunya diperpustakaan itu sudah sampai ke telinga beberapa warga sekitar hingga pada akhirnya cerita tersebut sampai ke telinga produser talkshow yang terkenal seantero negara. Beberapa hari kemudian Chen mendapat undangan untuk menjadi bintang tamu acara talkshow tersebut, awalnya Chen menolak karena Ayahnya yang sedang sakit-sakitan. Namun, setelah kesekian kalinya di bujuk oleh tim acara talkshow tersebut, Chen dengan berat hati akhirnya memutuskan untuk menghadiri acara tersebut dengan ayahnya.

Acarapun dimulai, Chen terlihat kaku dan gugup karena pertama kali masuk acara televisi dan dilihat oleh orang banyak. Perlahan tapi pasti Chen mulai menikmatinya satu per satu pertanyaan dari presenter dia jawab. Ketika memasuki acara terakhir, para penonton diberi kesempatan untuk bertanya langsung kepada Chen. Satu per satu penonton mulai bertanya.
“Hai Chen, Aku mau memberi bantuan kepada keluargamu, apa kamu bersedia Chen.?” Tanya seorang pengusaha sukses dengan suara yang tegas.
“Maaf, Saya hormati tawaran anda tapi saya tidak menerimanya”, Ia menjawab dengan santun.
“Bagaimana kalau aku akan membiayai seluruh pengobatan ayahmu hingga sembuh.?”
“Sekali lagi saya minta maaf, saya menolak tawaran anda.”
“Apa kamu yakin menolak tawaran yang akan mengubah nasib keluargamu tersebut.?”
“Ya, Aku sangat yakin.”, Sambil mengepalkan tangannya.
“Lalu, apa yang kau inginkan.?”, ia dipenuhi keheranan.
“Hanya satu yang kuinginkan, yaitu bertemu dengan ibuku.”
Para donatur yang ingin membantu Chen terdiam sejenak lalu duduk kembali dan tertunduk lesu. Entah apa yang dipikirkan oleh para donatur tersebut.
“Adakah yang membantu menemukan ibu saya.?”, Ia melantangkan suaranya dan menantang para donatur yang ingin membantu Chen.
Namun tidak ada satupun donatur yang menggapi pertanyaan Chen, mereka hanya bisa tertunduk lesu yang dibayangi ke pesimisan akan harapan Chen.
.............



0 komentar:

Posting Komentar